Berpihak kepada Rakyat Perdesaan

Berpihak kepada Rakyat Perdesaan

Pakar pertanian HS Dillon mengatakan, dua masalah besar dihadapi bangsa Indonesia ke depan ini. Pertama, pemanasan global. Kedua, kesenjangan sosial yang kian tajam. Jika kedua masalah itu tidak diatasi sejak sekarang, akan bisa menjadi bumerang yang mengganggu ketahanan pangan nasional pada masa-masa mendatang.

Sebenarnya, kalau fundamental ketahanan pangan nasional telah diantisipasi sejak jauh hari, maka kedua permasalahan tersebut ada kemungkinan tidak akan menghadang bangsa Indonesia. Namun, tampaknya memang ada yang salah dalam kebijakan dan pengelolaan ketahanan pangan Indonesia hingga ancaman dua permasalahan itu muncul. What is wrong?

“Kita mesti kembali ke makanan pribumi. Tanaman yang betul-betul pribumi adalah umbi-umbian dan pepohonan,” kata HS Dillon ketika dihubungi Suara Karya di Jakarta baru-baru ini.

Menurut Dillon, kong­lomerat telah menggantikan konsumsi pangan bangsa Indonesia dari umbi-umbian ke gandum, khususnya lewat produk mi instan. Akibatnya, ketergantungan bangsa Indonesia terhadap gandum cukup tinggi. Padahal sesuai “DNA”nya, makanan pokok orang-orang Indonesia sebenarnya umbi-umbian yang bisa membuat tubuh menjadi kuat dan tahan menghadapi kekeringan.

Jadi, kalau terjadi kekeringan akibat pe­ngaruh perubahan iklim, tanaman semacam itu masih bisa tumbuh. Apabila dari dulu bangsa Indonesia mengonsumsi makanan umbi-umbian dan pepohonan yang tidak terlalu banyak karbohidrat, maka ancaman kekurangan pangan di masa depan akan bisa diminimalisasi.

Sementara itu, jika bangsa Indonesia banyak makan ikan yang melimpah di lautan Indonesia, sumber protein yang sangat berguna bagi perkembangan tubuh akan dapat dicukupi. Kurangnya sumber protein bagi masyarakat menjadikan perkembangan tulang orang-orang Indonesia makin mengecil (stunting). Sumber protein juga berpengaruh terhadap otak dan hati, kecerdasan, skill, dan kemampuan bangsa Indonesia.

“Kita pernah kerjakan yang namanya ‘anak tangga pertanian’ untuk bisa keluar dari kemiskinan di masa lalu,” kata mantan Ketua Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional di era Presiden BJ Habibie ini. “Antara lain, dengan memberikan perhatian pada pengembangan tanaman khas Indonesia, termasuk umbi-umbian dan pepohonan, juga sumber protein hasil ternak dan ikan.”

Kesalahan terbesar terjadi ketika bangsa Indonesia dikondisikan tergantung pada makanan gandum atau terigu untuk produk mi instan tahun 1970-an pada era Presiden Soeharto. Jadi, selain beras, bahan makanan pokok bangsa Indonesia adalah terigu yang diimpor dari luar negeri. Celakanya, sampai sekarang, ketergantungan pada bahan baku impor itu tetap dipelihara dan tidak dicegah.

Oleh sebab itu, secara bertahap, makanan umbi-umbian perlu kembali dikembangkan sebagai makanan pokok bangsa Indonesia. Seperti Brasil yang sebelumnya mengonsumsi gandum hingga 60 persen, sekarang tinggal 40 persen saja. Demikian pula sumber protein ikan, perlu disosialisasikan ke masyarakat sebagai pengganti daging sapi yang lebih banyak dikonsumsi orang-orang kaya di perkotaan. “Orang-orang Pasifik, orang Jepang makan ikan, jadi cerdas-cerdas,” kata Dillon.

Dalam menerapkan kebijakan pangan, kita tidak boleh meninggalkan strategi utama, yakni membangun yang lemah. Kalau awalnya bangsa ini dimulai dari biaya yang paling lemah, maka dalam bekerja yang dipentingkan bukan laba, melainkan martabat. “Jadi, pemerintah mestinya terus berupaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja, khususnya petani, agar hidupnya lebih bermartabat,” katanya.

Meski tekanan kebijakan sekarang diarahkan ke sektor kemaritiman, namun sektor pertanian tetap perlu mendapatkan perhatian serius. Bagaimanapun, penyedia bahan pangan bangsa berasal dari sektor pertanian. Maka, investasi dan pembentukan modal di rumah-rumah tangga petani perlu mendapat dukungan luas.

“Petani-petani dan buruh tani Indonesia harus naik kelas agar produktivitas hasil pertanian meningkat. Bagaimanapun, peningkatan produktivitas tidak lepas dari peningkatan kelas petani. Semua biaya pemberdayaan petani dari hulu sampai hilir harus dilakukan. “Sejak tahun 1973 kalau konglomerat diberi modal kerja, kenapa petani tidak?”

Menurut Dillon, para petani harus dibantu permodalan dan akses kemudahan untuk mendapatkan lahan, benih, pupuk, penelitian, dan lain-lain. Untuk mendukung pemberdayaan petani, maka lembaga-lembaga seperti Bulog, Koperasi Unit Kerja, dan tempat penggilingan gabah perlu diintensifkan perannya.

Sebagai gambaran, dulu 25 persen ditekankan ke sektor pertanian, sedangkan 75 persen dari sektor lainnya di kota-kota termasuk lewat program padat karya tetapi tetap tinggal di perdesaan.

Dalam hal ini, land reform Undang-Undang Pokok Agraria 1960 perlu dilakukan. Lahan-lahan yang diambil alih oleh perkebunan negara, sebagian bisa dikembalikan ke para petani untuk bisa lebih diberdayakan.

Sharing :